Membaca adalah jendela dunia
Kebiasaan membaca masih menjadi hal yang terlalu sulit dibudayakan. Padahal setiap orang telah mengetahui manfaat dan pentingnya membaca buku, yang tidak hanya mencerdaskan otak, tetapi juga menyehatkan fisik.
Kebiasaan membaca masih menjadi hal yang terlalu sulit dibudayakan. Padahal setiap orang telah mengetahui manfaat dan pentingnya membaca buku, yang tidak hanya mencerdaskan otak, tetapi juga menyehatkan fisik.
Tahun 2016, UNESCO menyebut jika minat baca masyarakat Indonesia berada di angka 0,001%. Artinya, dari seribu orang, hanya satu di antaranya yang memiliki kebiasaan membaca. Benar-benar memprihatinkan.
Tak heran bila dalam sebuah survey, Indonesia ditempatkan pada urutan ke-60 dari 61 negara di dunia dalam hal membaca.
Sebagai pembanding, kita bisa bertanya pada diri kita masing-masing. Pekan ini, ada berapa buku yang kita baca? Di bulan Agustus, buku apa saja yang sudah kita tamatkan? Sepanjang tahun 2017, sudah berapa banyak buku yang kita tuntaskan? Sepertinya masih jauh dari harapan.
Anehnya, hal ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di media sosial. Di mana Indonesia dikenal sebagai salah satu pengguna medsos yang paling berisik di dunia. Kabarnya, untuk Facebook saja, orang-orang Indonesia melakukan up date status tiga kali lebih banyak dibanding rata-rata pengguna lain di dunia. Luar biasa!
Kata “luar biasa” ini, saya masih bingung. Apakah harus membanggakannya ataukah turut prihatin karenanya.
Ketidaksesuaian output dan input pengetahuan, menjadikan banyak orang yang membuat informasi yang menyesatkan. Banyak pula netizen yang mudah terprovokasi yang menyulut emosi, sesuatu yang belum tentu benar. Tak jarang pula kita lihat adanya orang yang menggunakan media sosial hanya untuk mencaci dan memfitnah orang lain. Lebih memiriskan lagi, ketika menyebar berita hoax dijadikan sebagai pekerjaan, seperti yang dilakukan Grup Saracen. Gila.
Orang-orang yang kurang membaca, seringkali begitu mudah membesar-besarkan hal sepele sekaligus menyepelakan persoalan besar. Tak jarang pula mengaburkan kebenaran. Kancing jas Jokowi yang sepele itu dan pada dasarnya tidak ada yang salah, bisa diributkan berhari-hari. Tetapi penipuan ratusan milyar berkedok umrah, di mana puluhan ribu jamaah menjadi korbannya, justru didiamkan. Aneh, kan?
Tentu, kita berharap adanya kesadaran untuk menggunakan media sosial secara cerdas. Di antara cara yang bisa kita lakukan adalah dengan banyak membaca buku.
Berbicara tentang buku, saya mengenal seorang sahabat di Tanah Papua, Suhardi Aras, yang begitu intens mendorong anak-anak muda di kota Sorong agar gemar membaca. Ia pun menghadirkan taman baca di rumahnya, yang disebutnya sebagai Rumah Kata. Di sana terdapat koleksi bukunya yang berjumlah sekira 1.500 buah.
Buku-buku tersebut ia dapatkan dari berbagai macam toko buku dengan menggunakan biaya pribadi. Berbagai koleksi buku pemikiran, buku pergerakan, hingga buku anak-anak, tersedia dan kesemuanya di pajang di ruang tamunya.
Para pengunjung yang menikmati bacaan di Rumah Kata, Sorong, Papua Barat
Taman baca itu didirikannya dua tahun silam. Tepatnya 25 Agustus 2015. Tanggal yang dipilih merupakan tanggal kelahiran istrinya. Walau keduanya memiliki kesibukan masing-masing di tempat kerja, namun kecintaan kepada buku mondorongnya untuk menularkannya kepada orang lain.
Tentu ini sebuah usaha yang patut diapresiasi. Ketika banyak keluarga menghabiskan akhir pekannya dengan liburan, seperti hari Sabtu dan Minggu, pasangan ini justru mempergunakan waktunya untuk melayani para pembaca atau mereka yang hendak meminjam buku.
Ketika berkunjung ke rumahnya, saya sungguh terkesan dengan ketulusannya dalam berbagi dan mendorong masyarakat untuk membaca. Berkorban waktu, tenaga, pikiran, dan materi demi mendekatkan orang-orang pada buku dengan menyediakannya taman ruang baca yang nyaman dan meminjamkannya secara gratis.
Hanya saja, pengorbanan tersebut, seringkali tidak disambut baik oleh beberapa pengunjung lainnya. Banyak yang meminjam buku, tetapi justru tidak mengembalikannya. Padahal pengunjung lain sudah ada yang antri untuk meminjam.
Kemalasan membaca buku dan kesadaran untuk mengembalikan buku pinjaman, sepertinya masih menjadi hal yang dianggap biasa oleh sebagian orang. Padahal sejatinya, itu adalah bentuk kezaliman.
Malas membaca adalah zalim pada diri sendiri dan enggan mengembalikan buku pinjaman adalah zalim kepada pemiliknya sekaligus kepada pembaca yang lain. Dengan tidak mengembalikannya, membuat pemiliknya terbebani dengan biaya tambahan yang harus ia keluarkan. Syukur-syukur bila koleksi buku itu masih banyak cetakannya. Selain itu, hak pembaca yang lain menjadi terhalang karenanya. Terhalang dalam mendapatkan ilmu. Bukankah menghalangi orang lain dalam memperoleh pengetahuan termasuk bentuk kezaliman?
Karena itu, mari kita hargai para pejuang literasi kita. Mereka telah mengambil bagian dalam perjuangan mencerdaskan anak bangsa. Jika tak bisa membantu dalam berkontribusi, setidaknya jangan halangi mereka dalam menyebarkan kebaikan lewat buku bacaan. Sebab, mereka sedang mengamalkan perintah Tuhan lewat firman-Nya, “Iqra”.
Dengan membaca pintu pengetahuan akan terbuka. Kita tidak perlu menyelam ke dasar laut untuk mengetahui segala sesuatunya di sana. Kita juga tidak perlu melakukan perjalanan ke berbagai tempat di dunia untuk sekadar melihat ciptaan-Nya. Pun kita tak perlu repot-repot melakukan penelitian hingga ke akhirat. Sebab, dengan membaca, kita akan menjadi tahu.
Comments
Post a Comment